Perlukah Penulis Memiliki Podcast?

Imas Tuti
5 min readNov 19, 2020
Photo by NeONBRAND on Unsplash

Banyak pilihan media yang dapat digunakan untuk berekspresi dan bereksplorasi seiring berkembangnya era digital, salah satunya adalah podcast. Saya memandang kemungkinan hampir semua orang tahu apa itu podcast, terutama dikalangan pemuda zaman now. Karena kini podcast telah tenar di mancanegara, seperti Amerika, UK, dan Australia.

Secara sederhana, podcast merupakan sebuah siaran audio seperti radio yang bisa kita dengarkan kapanpun dan di manapun dengan pembahasan topik yang beragam. Banyak peluang untuk berkarya bagi para pengembang konten audio untuk berbagi ide dan gagasan unik. Tetapi tidak menutup kemungkinan bisa dilakukan oleh semua orang, tidak terkecuali untuk para penulis.

Jika kita sering melihat dan mendengar beberapa podcast, baik yang berasal dari aplikasi smartphone seperti spotify, ataupun melalui youtube seperti channel podcast Deddy Corbuzier. Bisa dikatakan bahwa podcast cukup banyak diminati, dilihat dan didengar oleh banyak orang. Dan bahkan kita bisa bicara bebas (tidak ada aturan) atau pun hanya sekedar belajar public speaking. Karena pada dasarnya semua orang bisa menjadi podcaster bermodalkan dengan kemampuan dasar berbicara, jika belum mampu untuk tampil didepan kamera.

Photo by Thought Catalog on Unsplash

Sama halnya dengan penulis, beberapa teman saya pernah mengatakan (dan saya simpulkan) bahwa ketika telah menjadi penulis, maka kemampuan public speaking mau tidak mau harus dicoba. Kemungkinan suatu hari nanti kita jadi pembicara di suatu seminar launching buku, bedah buku, atau yang lainnya. Jika kita belajar public speaking dari sekarang, maka kemungkinan menghadapi demam panggung akan dapat diminimalisir.

Perlukah Penulis Memiliki Podcast?

Kalimat judul diatas tersebut sebenarnya adalah ide yang tiba-tiba muncul ketika saya melihat (scroll) instagram dan menemui feed menarik dari Detak Pustaka. Secara tidak langsung, saya menggunakan judul yang sama namun tentunya dengan isi yang berbeda sebagai bahan tulisan saya hari ini.

Berdasarkan judul tersebut, instagram dari Detak Pustaka mengatakan bahwa sangat perlu karena telah banyak penulis yang memasarkan tulisannya melalui media suara. Salah satunya Rintik Sendu yang sempat trending di spotify dan Apple podcast.

Doc. from Google Chrome

Selanjutnya, Detak Pustaka juga mengatakan bahwa manfaat podcast bagi penulis tentu saja adalah sebagai media branding dan pemasaran tulisan. Seperti misalnya podcast dari Aditya Hadi Pratama dengan nama kontennya Podcast Buku Kutu di spotify. Kontennya tersebut khusus me-review buku dan membuka peluang untuk didengar yang lebih luas lagi daripada hanya media tulisan. Bagi pembaca yang suka review buku tentu akan menyukai konten tersebut, termasuk saya. Menurut saya konten dari Aditya tersebut, bisa dijadikan salah satu inspirasi dan referensi bagi kita yang menggiatkan literasi.

Saya pun setuju akan pernyataan tersebut diatas, bahwa penulis perlu memiliki podcast, tetapi pandangan saya tentang hal ini adalah kita harus fokus terlebih dahulu dalam hal menulis. Jika niatnya adalah menulis buku pribadi atau antologi, kita bisa saja mengatakan “saya harus selesai proyek menulis terlebih dahulu, baru kemudian akan memulai podcast”. Atau juga bisa dalam hal lain, jika kita berniat memberi tantangan (challenge) kepada diri sendiri misalnya sudah menulis selama 30 hari non stop. Maka tantangan selanjutnya naik level ke tantangan membuat podcast 30 hari non stop.

Doc. Pribadi

Bicara tentang tantangan podcast 30 hari non stop ini menarik sekali untuk sedikit dibahas. Ada salah satu podcast yang menarik untuk didengar, dan bagi saya bisa me-recharger semangat menulis kembali ketika sedang malas atau pun terkena writer’s block. Ia adalah mentor saya sendiri ketika mengikuti 30DWC (Days Writing Challange) yaitu Kak Rezky Firmansyah.

Dalam podcast pertamanya, ia menamakan kontennya dengan nama Passion Writer. Salah satu alasan kenapa ia membuat podcast 30 hari non stop adalah karena ditantang oleh temannya. Baginya mendapatkan tantangan tersebut adalah trigger (pemicunya) untuk tetap menggerakkan diri dalam literasi. Saya bersyukur kepada Allah SWT, ketika pertama kali mendengar podcast-nya. Karena dengan begitu, saya bisa mengingat kembali niat dan tujuan saya awal menulis itu apa. Apalagi ketika menghadapi writer’s block.

Saya pernah merasakan kondisi dimana hati dan pikiran tidak sejalan, ketika hati nurani meronta dan meminta saya untuk kembali lagi menulis serta mengatakan, “jangan malas, ayo menulis”. Disatu sisi pikiran saya susah untuk menggerakkan tubuh terutama tangan saya untuk mengetik atau menulis. Oleh karena itu, saya perlu mengkondisikan diri kembali dan mengumpulkan semangat menulis saya, bahkan dengan beragam kesibukan saya coba untuk mengatur ulang fokus dan menggelola jadwal rutin menulis serta membuat bank ide atau tema untuk 7 hari atau 30 hari ke depan.

Kembali lagi kepada persoalan podcast, menurut situs website kamuitubeda.com, mengatakan bahwa secara teknologi, podcast bukanlah merupakan sebuah teknologi baru. Karena jauh sebelum ramai seperti sekarang, sudah ada beberapa media sosial yang khusus untuk konten audio seperti Soundcloud.

Namun di tahun 2020 inilah podcaster meningkat pesat di Indonesia. Seperti channel podcast Deddy Corbuzier, menurut saya telah menjadi salah satu ladang besar untuk klarifikasi dan pengakuan banyak pesohor. Ada beragam fakta yang terbongkar di dapur podcast-nya tersebut, salah satunya adalah Taufik Hidayat yang blak-blakan membahas kebusukan-kebusukan yang ada di Kemenpora.

Lalu bagi podcaster yang fokus di spotify, sangat memungkinkan untuk didengar banyak orang karena sifatnya yang personal (seolah-olah pesan yang disampaikan lewat audio itu ditujukan kepada kita pribadi, atau seolah bicara hanya dengan kita saja). Dan menurut saya podcast dari kak Rezky tersebut sangat membantu saya yang masih dalam tahap membiasakan menulis.

Jika pembaca sekalian yang hobi menulis dan berniat ingin membuat podcast, kita bisa membuatnya di aplikasi Anchor yang ada di Google Playstore. Cara membuatnya mudah sekali, tinggal rekam saja melalui aplikasi tersebut atau merekamnya melalui tool default smartphone yang kemudian nantinya bisa di import kedalam aplikasi Anchor. Jika ingin di upload di media yang lebih populer seperti Spotify, pembaca bisa searching mengenai hal tersebut dan mencobanya sendiri.

Jadi, pada dasarnya persoalan tentang perlu atau tidaknya memiliki podcast bagi seorang penulis adalah tergantung pada diri pribadi penulis. Pernyataan diawal sebelumnya bisa dijadikan inspirasi dan motivasi besar untuk go public. Jika ingin membuatnya, maka hal itu adalah awal yang bagus untuk memulai sesuatu yang baru. Jika belum ingin membuatnya, menurut saya sebaiknya fokuskan terlebih dahulu kepada pekerjaan membiasakan menulis atau pun proyek menulis.

--

--